Taman
Kanak-Kanak Pertiwi, Sungai Penuh...
Aku
memandang papan nama yang sudah hampir roboh terpancang di halaman bangunan
itu. Tak banyak yang berubah, masih ada bangunan seluncuran berbentuk buah
nanas yang sering kujadikan tempat persembunyianku dulu, masih ada ayunan kayu
di halaman samping, dan Ruangan Kepala Sekolah yang sepertinya tidak pernah
direnovasi (sama halnya dengan ruang kelas lainnya disitu), tempat favoritku
ketika menunggu dijemput orangtuaku.
Ingatanku
melayang pada 18 tahun lalu. Waktu dimana pertama kalinya Aku menginjakkan kaki
di halaman gedung TK ini. Saat itu tahun ajaran baru dan pertama kalinya Aku
mendapatkan pendidikan formal selain pendidikan terbaik yang kudapat dari kedua
orangtuaku di rumah. Aku setuju dengan pendapat yang menyatakan “Pendidik
terbaik seorang anak adalah Ibunya”, tapi kali ini Aku tidak akan berbicara
tentang Ibu yang kusebut Mama, bukan berarti Aku anak durhaka yang melupakan
orangtua, hanya saja jika menulis tentang mereka dan jasa-jasanya dalam
mendidikku, maka tidak akan cukup 5 halaman A4 yang diharuskan untukku
bercerita tentangnya. Kali ini aku akan bercerita tentang seseorang yang
menginspirasiku untuk bisa mewujudkan harapanku sedari dini.
Aku
menarik pagar yang sekaligus menjadi pintu gerbang bangunan sekolah itu. Ibu
Nur Azizah, janda dengan dua orang anak yang menyambutku pertama kali di
gerbang ini dan mengajarkanku untuk membalas sambutannya dengan mencium
tangannya. “Mencium tangan orang yang lebih tua membuat mereka sangat
dihargai oleh dirimu” ucapnya yang disertai anggukan kepala kecilku. Bu
Zizah, Beliau biasa dipanggil. Namun karena kecadelanku saat itu, Aku
memanggilnya dengan sebutan Bu Jijah, yang akhirnya jadi panggilan kesayanganku
untuk Beliau.
Bu
Jijah Kepala Sekolah yang tegas dan disiplin. Meski di usia saat itu Aku belum
mengerti apa arti kedua kata itu, tapi Aku bisa melihat dari sikap yang
ditunjukkannya pada kami. Bu Jijah akan memukul lembut tangan muridnya yang
menerima/mengambil sesuatu dengan tangan kiri, bahkan Beliau tidak segan
menghukum anak muridnya di depan orangtua mereka bila melihat tugas yang harus
kami selesaikan di akhir pelajaran masih dibantu orangtua (yang menunggu
anaknya di ruangan) dalam pengerjaannya (karena yang lebih dulu selesai, dia
yang boleh pulang lebih awal).
Dibalik
semua sikap keras dan tegas Bu Jijah, Beliau masih memiliki kelembutan seorang
Ibu yang tidak jarang diperlihatkannya pada kami. Bu Jijah akan memeluk dan
mencium muridnya apabila hasil pekerjaannya mendapatkan stempel bintang lima
(Pada masa dulu, penilaian oleh guru dengan memberikan stempel bintang lima
yang setara dengan nilai A+ atau Excellent pada lembar kerja) layaknya
seorang Ibu yang bangga melihat balitanya mampu menyebut kata MAMA dengan
sempurna.
Aku
tersenyum kembali mengingat kejadian itu. Kali ini Aku sudah berdiri di depan
ruangan Kepala sekolah. Ruangan yang pernah ditempati Bu Jijah selama
bertahun-tahun menjadi Kepala Sekolah di TK ini. Bu Jijah tidak hanya menjadi
Kepala Sekolah dan Guru TK-ku saja, tetapi juga Guru bagi kedua adikku yang
juga bersekolah di TK yang sama.
Aku
mengintip ke dalam ruangan dari balik jendela. Di samping kanan meja Kepala
Sekolah terdapat Lemari kaca besar yang berisi piala/trophy dari
anak-anak yang berprestasi dalam ajang kreativitas dan perlombaan yang diadakan
setiap tahunnya. Lemari lima tingkat itu semuanya penuh terisi. Piala-piala
yang jumlahnya ribuan itu tersusun rapi. Aku tersenyum karena dulu saat Aku
menyumbangkan piala ke TK ini, piala itu tidak beranak hingga sebanyak ini. Aku
menyumbangkan tiga piala atas prestasiku dalam melukis.
Adalah
Bu Jijah yang pertama kali menemukan bakatku. Beliau yang saat itu memergokiku
sedang melukis buah
nanas representasi dari bangunan seluncuran yang ada di depan TK kami.
Beliau yang memberikan stempel bintang lima pada lukisan karyaku yang didaftarkannya
untuk Lomba Kabupaten.
Dan
ketika lukisan itu
mendapat juara pertama, Beliau
mengatakan bahwa Aku adalah
anak
hebat yang akan selalu membanggakan orang-orang di sekelilingku.
Dua
tahun mengenyam pendidikan formal di TK, selama dua tahun itu pula Aku sangat
dekat dengan Bu Jijah. Tak hanya denganku, Bu Jijah juga dekat dengan
keluargaku. Ketika
usiaku menginjak 6 tahun, Aku lulus dari TK dan dianjurkan untuk melanjutkan ke
Sekolah Dasar (SD) meski usiaku masih belum cukup. Saat itu tidak ada larangan
anak-anak yang mendaftar ke SD harus berusia minimal 7 tahun seperti sekarang.
Meski
sudah berpisah dengan dunia TK, tidak bertemu Bu Jijah lagi sebagai Guru dan
Kepala Sekolahku, tapi sosok Beliau tidak begitu saja lepas dari pikiranku. Aku
menjadikan Beliau sebagai sosok yang menjadi inspirasi dalam cita-citaku. Aku
bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis sesuai dengan bakatku dan juga Guru TK. Seorang
Guru TK seperti Beliau yang disayangi dan menyayangi murid-muridnya.
“Aku ada untuk membanggakan orang-orang di
sekelilingku.” Bu Jijah benar. Selama masa pendidikanku, dari TK hingga SMA,
Aku selalu menyumbangkan prestasi-prestasi yang mengharumkan nama sekolah dan
membuat bangga orang-orang di sekelilingku. Namun, prestasi ini juga menjadi
suatu dilema bagiku. Dengan segudang prestasi yang kuberikan, tentunya semua
orang berharap yang terbaik bagiku bahkan dalam pemilihan perguruan tinggi yang
tepat bagiku. Prestasi tinggi sebanding dengan cita-cita tinggi. Begitu ucap
mereka. Tapi selalu kulihat wajah-wajah kecewa setiap kali Aku menyebutkan
cita-citaku menjadi
Guru TK. Banyak yang menentang keinginanku ketika kukatakan hanya ingin
melanjutkan ke PGTK. Mereka seolah tidak mempercayai ucapanku. Bahkan tak
banyak yang terang-terangan menyebutku bodoh. “Apa yang bisa kau harapkan
dari Guru TK? Dengan kelebihanmu tentu saja Kau punya lebih banyak kesempatan
untuk mendapatkan yang lebih layak” ucap salah seorang temanku.
Aku
memang memiliki cita-cita yang (kata orang-orang) tergolong sederhana : Guru
TK. Meski sempat ditertawakan (karena menurut mereka, cita-cita itu harusnya
setinggi langit, bukan tugas ‘mulia’ seperti itu) tapi aku yakin dengan
keinginanku. Sebab bagiku cita-cita adalah impian yang harus aku gapai dan aku
wujudkan. Untuk apa mempunyai cita-cita setinggi langit jika kita tak mampu
mencapainya dan malah jatuh pada dasar bumi yang serendah-rendahnya. Itu
kalimat ungkapan dan pembelaanku setiap ditanyakan alasan mengapa aku memiliki
cita-cita sesederhana itu.
Dan
benar bahwa hidup itu adalah pilihan. Maka Aku pun menjatuhkan pilihan yang
tentu saja harus dapat Aku terima segala konsekuensinya. Tentunya Aku akan
bertanggung jawab dengan pilihan hidupku itu.
Lamunanku
terusik dengan kehadiran seorang perempuan yang tergopoh-gopoh berjalan ke
arahku. Rambutnya yang hampir memutih seluruhnya menjadi saksi bahwa kehidupan
pun memakan usia dan parasnya. Raut tegas masih tampak jelas pada wajah
keriputnya. Bu Jijah, Guru yang paling kuhormati dan selalu menjadi
inspirasiku.
Seperti
usiaku yang masih 4 tahun saat itu, Beliau menyambutku kembali di TK ini. Aku
mencium tangan yang Beliau ulurkan untuk merangkulku. Aku membalas rangkulan
beliau. Memeluknya erat seakan tidak ingin dilepas. Beliau menitikkan airmata
melihatku. Aku pun tak kuasa menahan haru pada pertemuan ini. Bertemu kembali
Guru yang selalu membuatku ingin seperti dirinya, mengikuti jejaknya.
Ya.
Aku kembali ke TK ini. Bukan lagi sebagai murid ingusan saat pertama kali
disini, tapi sebagai Guru yang akan mengajar anak-anak disini. Seperti
kukatakan sebelumnya, hidup adalah pilihan. Dan Aku memilih untuk tetap
melanjutkan cita-citaku menjadi Guru TK. Meskipun keinginanku untuk melanjutkan
ke PGTK tidak terlaksana. Aku meneruskan pendidikan di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri jurusan Seni Rupa sebagai mahasiswa undangan. Dan dengan bakat
melukisku, aku terpilih beberapa kali mewakili kampus di ajang nasional maupun
internasional.
Aku
lulusan terbaik dari Fakultas
Seni
dengan predikat cumlaude. Bahkan setelah lulus, menjelang wisuda aku
masih terpilih mengikuti International Art Festival di Berlin, Jerman dan
langsung ditawari menjadi bagian dari kepanitiaan Venice Biennale sebuah
pameran seni bergengsi yang diadakan setiap dua tahun sekali di Venesia dan
menampilkan karya-karya seniman terkenal dunia yang telah lebih dari 100 tahun.
Tidak sembarang orang yang bisa bergabung disitu.
Namun
Aku menunda penawaran itu. Aku memilih untuk kembali ke kotaku, mengabaikan
perkataan orang-orang yang menyayangkan keputusanku, mengabaikan wajah kecewa
orang-orang di sekelilingku. Tapi Aku berjanji akan tetap membuat mereka bangga
dengan diriku saat itu. Karena Aku yakin sekali Aku ada untuk membanggakan
mereka. Dan kurasa inilah saatnya. Aku kembali kesini, ke tempat pertama kali
Aku membangun mimpi dan cita-citaku dan untuk melukis masa depan anak-anak
disini dengan membantu di Yayasan TK Pertiwi milik Bu Jijah.
Kondisi
kesehatan Beliau sudah tidak memungkinkan untuk memimpin yayasan sekolah ini,
sementara kedua anaknya hanya sesekali mampu meluangkan waktu untuk yayasan
ini. Maka ketika Aku melamar untuk menjadi Guru di TK ini , Bu Jijah langsung
menerimaku. Bahkan Beliau menawarkan posisi Kepala Sekolah menggantikan Beliau
yang langsung kutolak dengan sopan. Alasanku karena Aku masih baru, dan masih
ingin banyak belajar dari Beliau.
Ketika
ditanya alasanku kenapa mengajukan lamaran di sekolah ini, dengan tegas Aku
menjawab “Karena Ibu yang sejak Aku berusia 4 tahun dulu telah menanamkan
sosok seorang Guru, pendidik, dan orangtua yang tepat bagi anak-anak yang akan
memulai masa pendidikan awal pertama mereka. Dan karena Guru TK itu pekerjaan
yang mulia, harapanku agar terus diingat oleh murid-murid sebagai guru pertama
bagi mereka” ucapku mantap.
Bu
Jijah tersenyum mendengar penuturanku. Beliau merangkulku lagi, menunjukkan
tempat demi tempat bangunan yang sudah lama kutinggalkan ini, bangunan yang
terlihat suram dan usang tergerus zaman, dan dengan bakatku aku bertekad untuk
melukis ruangan-ruangan ini nantinya mewujudkan harapanku untuk menjadikan
lukisan sebagai media visual dalam pembelajaran. Bersama kami menyusuri kelas
demi kelas tempat dimana Aku akan mengajar dan mewujudkan mimpiku. Tempat
dimana Aku akan bertanggung jawab terhadap segala keputusanku dan
murid-muridku. Tempat dimana aku akan melukis masa depanku bersama anak-anak
disini agar nantinya mereka pun bisa menjadikanku guru yang menginspirasi
mereka, seperti guruku, Ibu Nur Azizah.
^Tulisan remake dari sebelumnya dalam rangka Lomba Cerpen oleh Inspira Pustaka^