31 Desember 2011
Aku menatap miris pada
kalender di depanku. Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2011 dan esok
adalah hari baru di tahun berikutnya. Sudah setahun aku melewati hari-hari
masih dengan kebingungan. Tak ada perubahan dalam diri dan sesuatu yang
kuhasilkan tahun ini. Aku masih gamang menentukan tujuan hidupku. Ingin seperti
apa dan bagaimana. Tepat tengah malam setahun lalu, sebelum jarum jam
berdentang 12 kali, Aku menuliskan harapan-harapan dan resolusi untuk tahun
ini. Salah satunya adalah mengajar dan menerbitkan buku.
Aku memang memiliki cita-cita
yang (kata orang-orang) tergolong sederhana : Guru TK dan Penulis. Meski sempat
ditertawakan (karena menurut mereka, cita-cita itu harusnya setinggi langit,
bukan tugas ‘mulia’ seperti itu) tapi aku yakin dengan keinginanku. Sebab
bagiku cita-cita adalah impian yang harus aku gapai dan aku wujudkan. Untuk apa
mempunyai cita-cita setinggi langit jika kita tak mampu mencapainya dan malah
jatuh pada dasar bumi yang serendah-rendahnya. Itu kalimat ungkapan dan
pembelaanku setiap ditanyakan alasan mengapa aku memiliki cita-cita sesederhana
itu.
Sebenarnya, Aku menyukai
sastra dan tulis-menulis. Aku merasa menemukan “dunia”-ku pada bidang itu. Aku
juga menyukai anak-anak, dan terinspirasi dari kekagumanku pada Guru TK-ku
dulu, maka aku ingin menjadi Guru TK yang dekat dengan anak-anak dan tentunya
memiliki waktu luang untuk menulis. Sambil menyelam minum air, pikirku. Guru TK
yang juga berprofesi sebagai penulis. Aku pikir itu keren, terserah orang lain
berkata apa. Tapi bagiku, itu tidak terbantahkan.
Handphone-ku berdering tanda
sms masuk. Membuyarkan lamunan pemikiranku tadi. Aku beranjak mengambilnya dari
atas meja. Sms dari salah seorang teman yang sama-sama bergabung di Klub
pencinta buku. Ia mengajakku ke acara launching
buku yang diadakan oleh perkumpulan itu. Aku memandangi jam dan kalender secara
bergantian, aku tidak punya acara hari ini jadi Aku bisa saja mengiyakan
ajakannya, tetapi entah kenapa detak jam dinding itu seolah mempengaruhi
pikiranku. Aku sama sekali tak ingin kemana-mana hari ini. Aku merenung sejenak
barulah akhirnya memutuskan pergi. Aku bergegas dan bersiap setelah sebelumnya
mengetik OK pada balasan sms darinya.
Tiga puluh menit berikutnya
kami bertemu di warung pertigaan. Kami menaiki angkot dan metromini menuju ke
lokasi. Sesampai disana hanya beberapa orang saja yang telah datang, Aku
mengenal salah seorang diantaranya, penulis sepantaranku yg novelnya sudah
menjadi best-seller. Kami pun berbaur
dengan peserta yang lainnya. Aku juga berkenalan dengan Talitha, sama-sama
pencinta buku dan anggota klub ini dari kota sebelah. Ia sudah menerbitkan
beberapa buku antologi bersama teman-teman pencinta buku dari kotanya.
Tak lama berselang, pembicara
sekaligus penulis yang akan me-launching
bukunya hari ini datang bersama anak dan cucunya. Bapak K Usman, seorang
penulis dan juga sastrawan yang telah menerbitkan ratusan buku sejak masa
mudanya. Hari ini, Beliau akan launching
novel terbarunya yang ditulis selama hampir lima tahun. (Aku sempat teringat
pada novel yg kutulis dulu, bahkan sudah hampir enam tahun berselang aku belum
sempat menyelesaikannya, Miris). Kami bergegas menyambut dan menyalami beliau.
Aku sudah mengenal tulisan-tulisan karyanya sejak di SD dahulu, tapi baru saat
ini Aku bertemu langsung dengan penulis cerita “Suri Cucu Kakek Dulhak” yang
dulu sempat menghantui dunia kanak-kanakku dengan berandai-andai memiliki akal cerdik
seperti Suri.
Acara dibuka dengan sesi
perkenalan. MC mempersilahkan kami semua yang hadir saat itu (berjumlah 30-an
orang) untuk memperkenalkan diri masing-masing dan MC juga sedikit memperkenalkan
mengenai Klub pecinta buku beserta event-event
kegiatannya yang telah diadakan di kota masing-masing.
Setelah perkenalan, sesi
berikutnya Talk-show dan launching Novel Tamu Rumah Biru karya
Bapak K. Usman yang dipandu oleh moderator. Sebelumnya Bapak K Usman mencurahkan
perasaannya, Beliau sangat sedih karena ini merupakan launching pertama bukunya yang dihadiri hanya sekitar 30-an orang
saja. Sebab biasanya, teman-temannya sesama penulis, penerbit selalu hadir pada
tiap launching karyanya, dan biasanya
ratusan orang yang hadir pada tiap launching
bukunya. Beliau menyayangkan kesalahan komunikasi dan penentuan tanggal yang
kurang tepat, mengingat saat ini adalah akhir tahun dan teman-temannya banyak
yang merayakan tahun baru di luar kota. Tapi hal tersebut tak urung mematahkan
semangat Beliau untuk berbagi di forum ini.
Beliau mengawali ceritanya
dengan pengalamannya saat pertama kali menulis dulu tanpa upah atau royalti
seperti sekarang. Upahnya dari tulisan-tulisan yang dimuat di koran-koran
dahulu hanya berupa bukti dari kantor pos bahwa tulisan tersebut dimuat. Beliau
juga bercerita tentang masa kecilnya yang tidak pernah diberi uang saku selama
sekolah dahulu.
Waktu berjalan cepat seiring
dengan pengalaman pribadi seorang K Usman. Kami yang berada disitu ikut
terhanyut dalam ceritanya, membandingkan betapa sangat jauh berbedanya era
beliau dahulu yang masih menulis dengan mesin tik dengan era kami sekarang yang
sudah mengenal gadget namun permasalahan komunikasi masih tetap saja ada.
Beliau menceritakan sinopsis
dari Novel yang ditulisnya itu. Beliau mengatakan bahwa novel ini adalah novel
terpanjang dan juga terlama yang pernah ditulisnya. Beliau menulis novel ini
selama empat tahun enam bulan (Aku kembali terdiam mengingat naskah novelku yg
belum kuselesaikan hingga kini, dan sudah memasuki tahun keenam masih kubiarkan
tersimpan dalam hidden folder di
laptopku). Beliau juga mengatakan bahwa ia menyukai karya-karyanya Kahlil
Gibran dan Pramoedya Ananta Toer. Aku semakin tertarik menyimak penjelasannya
karena ternyata kami memiliki kesukaan selera pada penulis yang sama.
Beliau bercerita tentang
karyanya yang dianugerahi Islamic Book Fair Award sebagai novel anak terbaik 1,
yang tak lain adalah kisah “Suri, Cucu Kakek Dulhak”. Beliau menanyakan apakah
ada yang sudah pernah membaca novel karyanya tersebut dan Aku langsung
tersenyum mengangkat tangan. Tentu saja, tokoh Suri itu sudah lama menempel di
otakku sejak masih SD dahulu. Beliau tersenyum dan mengangguk ke arahku.
Sampailah pada sesi tanya
jawab. Moderator menyebutkan tiga penanya terbaik akan mendapatkan hadiah langsung
dari Bapak K Usman berupa novel barunya itu. Aku langsung bersemangat
menyiapkan pertanyaan. Tentu saja Aku mengincar buku itu, tanpa ada hadiah
novel gratis ini pun, Aku juga pasti akan membelinya. Ketika moderator selesai
menghitung satu..dua..tiga..tanganku langsung teracung keatas bersaing dengan
belasan tangan-tangan lainnya, sekitar lima belas tangan terangkat keatas
menunggu sang maestro memilih tangan mana yang layak untuk melontarkan
pertanyaannya.
Bapak K Usman menatap
kearahku yang saat itu berada di barisan kedua sebelah kanan panggung. Dia
menunjukku dengan mengatakan “yang memakai baju kuning” (karena Aku memang
mengenakan baju kuning saat itu). Aku menghembuskan napas, lega sekaligus
senang karena diberikan kesempatan bertanya. Aku menanyakan tentang
inspirasinya dalam menuliskan Novel Tamu Rumah Biru tersebut apakah murni
fiktif atau berdasarkan pengalaman pribadinya. Aku juga menanyakan pendapatnya
mengenai apakah benar “Bahasa yang baik dalam tulis menulis itu adalah bahasa
yang paling sulit dimengerti”, karena dahulu, Guru Bahasa Indonesia ku pernah
mengatakan hal tersebut, dan Aku mengaitkannya dengan Syair-syair Sang Pujangga
Kahlil Gibran yang bahasanya terkadang sulit dimengerti mengingat beliau tadi
menyebutkan bahwa ia pun menyukai tulisan-tulisan Kahlil Gibran.
Setelah pertanyaan dariku,
beliau pun menunjuk empat orang lainnya untuk mengajukan pertanyaan padanya.
Umumnya pertanyaan mereka sama seputar novel Tamu Rumah Biru dan teknik
penulisan. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan kami sambil menceritakan pengalaman
pribadinya. Dia menjawab pertanyaan yang kuajukan dengan mengatakan bahwa Novel
ini sebagian besar adalah kisah hidupnya. Kamal, si Tokoh Utama adalah gambaran
sosoknya semasa menjadi wartawan di majalah Sarinah dulu.
Dia juga menjawab bahwa “tidak
semua bahasa yang baik adalah bahasa tingkat tinggi yang sulit dimengerti.
Bahasa penulisan merupakan ciri khusus yang dimiliki seorang penulis yang
membedakannya dengan penulis lainnya. Kahlil Gibran, Pramoedya AT adalah sosok
penulis yang memakai bahasa sastra berirama yang menyiratkan makna sehingga
tidak semua pembaca dapat menangkap maksudnya. Tapi itulah ciri khas yang
membedakan mereka dengan yang lainnya”.
Beliau bercerita tentang
makna warna biru yang dipilih menjadi judul novelnya sekaligus menjawab salah
satu pertanyaan “kenapa Novel ini berjudul Tamu Rumah Biru? Apa makna warna
Biru pada novel ini?”.
Beliau mengatakan bahwa
baginya, Biru adalah warna cinta. Biru melambangkan cinta. Beliau menyukai
warna biru karena biru juga berarti warna kehidupan, luas dan mendalam. Langit
yang luas berwarna biru, lautan yang luas dan dalam itupun berwarna biru. Aku
tertegun dengan filosofi Birunya Beliau. Romantis. Ya, cara Beliau
mengungkapkan makna Biru itu sangat romantis. Seolah-olah ia sedang bercerita
di depan orang yang dicintanya. Aku yakin, dan tidak hanya aku, tapi juga semua
yang melihat dan mendengar Beliau berucap tadi pasti setuju bahwa beliau adalah
orang yang romantis.
Hal itu pun dikemukakan oleh
moderator. Tapi jawaban Beliau “Semua orang memang sering beranggapan saya
romantis, tapi istri saya sendiri malah tidak setuju dengan hal itu. Istri saya
malah tertawa mengejek jika ada yang menyebut saya romantis. Karena menurutnya
saya adalah orang yang galak, tidak ada romantis-romantisnya.” Kami semua
tertawa mendengar kejujuran beliau, juga anak-anaknya yang saat itu datang
menemani sang ayah.
Kemudian yang paling
ditunggu-tunggu dan mungkin saat mendebarkan bagiku adalah pengumuman 3 penanya
terbaik yang mendapatkan novel gratis dari Bapak K Usman. Aku berharap dalam
hati semoga Aku beruntung mendapatkan novel itu. Sebab lumayan, uang yang
tadinya akan kubelikan novel ini bisa dipakai untuk membeli novel lainnya yang
akan menambah koleksiku, pikirku cerdik.
Bapak K Usman memperhatikan
sekeliling ke wajah-wajah para penanya yang mengajukan pertanyaan padanya tadi.
Dia diharuskan memilih 3 orang dari 5 pertanyaan yang ditujukan padanya.
Kemudian Dia kembali menatap ke arahku dan menunjukku masih dengan sebutan yang
sama “Si Baju Kuning”.
Aku tersenyum senang hampir
berteriak kegirangan jika tak menyadari masih ada peserta lain di sekitarku.
Aku bersama dua orang lainnya menuju panggung untuk menerima hadiah tersebut.
Di Panggung, kami langsung menyalami Bapak K Usman, Beliau mengatakan bahwa
Beliau memilih kami bertiga yang pantas mendapatkan Novel hadiahnya adalah
bukan karena Aku yang sama-sama penyuka Kahli Gibran maupun karena Aku yang
pernah membaca karyanya atau juga dua orang lainnya yang asal daerahnya sama
dengan Beliau (Palembang), tapi karena menurut Beliau pertanyaan kami diajukan
dengan bahasa komunikasi yang baik dan pertanyaan kami tidak hanya ditujukan
untuk kepentingan kami sendiri. Apapun pendapat Beliau, Aku merasa cukup bangga
dan tersanjung berada di panggung ini. Beliau menyerahkan langsung Novel Tamu
Rumah Biru itu dan menyalami kami bertiga. Acara hari itu pun berakhir seusai
sesi foto bareng semua peserta yang ada disana.
Di belakang panggung, Aku dan
dua orang teman yang menerima hadiah tadi kembali menemui Bapak K Usman untuk
meminta tanda-tangannya di buku yang kami peroleh. Beliau tersenyum
menyetujuinya dan terus berbicara memotivasi kami untuk bisa berkarya seperti
Beliau. ”Manfaatkan waktu dan masa muda kalian untuk bisa menghasilkan karya
yang berguna” Ucapnya.
Senang sekali bisa bertemu
dengan penulis senior seperti Beliau. Sudah menerbitkan ratusan buku sampai
usianya yang ke 71 tahun. Uniknya, beliau tidak mau disebut “sudah berusia” 71
tahun, melainkan “masih berumur” 71 tahun. Karena kata ‘masih’ menunjukkan
bahwa beliau akan masih terus berkarya dengan usia yg menurutnya ‘masih 71’
tahun itu. Beliau juga menegaskan bahwa buku ini bukanlah buku terakhirnya.
Masih akan ada karya yang akan dia hasilkan nantinya. Aku terkesan dan mengagumi
semangatnya di usia yg tergolong senja itu. Tapi aku juga merasa malu. Malu
pada diriku sendiri yang bahkan sampai saat ini belum bisa menghasilkan karya
apa-apa.padahal aku memiliki waktu yg lebih produktif (harusnya) dibandingkan
beliau.
Malam
itu, sesampainya di rumah...
Pukul
23: 55 WIB
Aku kembali menatap jam weker
di atas lemari buku, layar laptop dihadapanku, dan novel Tamu Rumah Biru yang
ada di pangkuanku secara bergantian. Banyak hal yang kudapat hari ini, tidak
hanya novel gratis yang menambah koleksiku, tapi juga pelajaran dan tamparan.
Yap, tamparan keras akan
tekad dan keinginanku menjadi seorang penulis yang sampai sekarang belum dapat
kuwujudkan. Tamparan sekaligus motivasi dari sosok penulis senior K Usman yang
bahkan sampai usia 71 tahunnya masih terus produktif menghasilkan karya. Aku
malu dengan semangat Beliau yang berbeda usia setengah abad lebih tua dariku
itu. Aku juga menyesali waktu yang telah Aku sia-siakan selama ini.
1
Januari 2012
Tepat pukul 00:00 WIB, weker
yang sudah ku set itu berdering, Aku menatap ke detik pertama jarum jam di
Tahun Baru ini, Aku mengetikkan kalimat pada layar Ms Word di laptopku. Teringat
ucapan : “Harapan yang kuat disertai dengan kemauan yang hebat untuk
menggapainya”. Tekadku pun sudah bulat. Resolusiku di tahun baru 2012 ini
adalah harus dapat menghasilkan karya yang bisa dibaca semua orang.
“ Aku harus menulis dan Aku
akan menjadi penulis!
Selamat Tahun Baru,, dan
Selamat datang Aku yang baru”
Aku menyelesaikan ketikan itu
dan kemudian tersenyum pasti sambil mematikan laptopku.
Bogor, 25 Des 11 harusnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar