Pelabuhan
Bitung, 8 Februari 2012
Aku
melangkahkan kaki memasuki gerbang pelabuhan. Bersama keenam orang temanku,
kami akan melakukan perjalanan ke ke Pulau paling timur Indonesia ; Papua,
tepatnya Merauke. Perjalanan ini merupakan bagian dari ekspedisi keanekaragaman
hayati. Kami mahasiswa tingkat akhir yang proposalnya terpilih akan melakukan
penelitian skripsi dibiayai oleh salah satu NGO internasional yang memiliki
program penelitian Wallaby (Mamalia berkantung/Kanguru Lapang) di Taman
Nasional Wasur. Dan aku termasuk salah satu dari ketujuh mahasiswa beruntung itu. Bersama dengan enam
orang lainnya dari universitas yang berbeda, kami memutuskan untuk menempuh
perjalanan laut untuk sampai ke tujuan : Merauke.
Alasan pemilihan jalur laut adalah alasan klasik khas mahasiswa. Karena transportasi yang dibiayai hanya untuk satu kali perjalanan (Merauke-Jakarta), dengan tujuan untuk berhemat, kami memilih menggunakan jalur laut yang kami tempuh dari pelabuhan Bitung, Manado. Alasan lainnya juga adalah untuk lebih mengenal dan mengakrabkan kami, para mahasiswa terpilih yang belum pernah bertemu satu sama lain.Meskipun tidak saling kenal, tapi ternyata kami memiliki hobi yang sama ; travelling. Sehingga kami menyetujui untuk bertemu langsung di Manado dan menggunakan kapal berada di tengah-laut berhari-hari demi mencapai tujuan.
Alasan pemilihan jalur laut adalah alasan klasik khas mahasiswa. Karena transportasi yang dibiayai hanya untuk satu kali perjalanan (Merauke-Jakarta), dengan tujuan untuk berhemat, kami memilih menggunakan jalur laut yang kami tempuh dari pelabuhan Bitung, Manado. Alasan lainnya juga adalah untuk lebih mengenal dan mengakrabkan kami, para mahasiswa terpilih yang belum pernah bertemu satu sama lain.Meskipun tidak saling kenal, tapi ternyata kami memiliki hobi yang sama ; travelling. Sehingga kami menyetujui untuk bertemu langsung di Manado dan menggunakan kapal berada di tengah-laut berhari-hari demi mencapai tujuan.
Pelabuhan sudah ramai dengan orang-orang.
Penumpang, pedagang, buruh bagasi, dan porter bercampur baur. Aku melihat kapal
yang akan kami naiki ; KM TATAMAILAU. Kami yang memiliki beban barang bawaan
masing-masing mengabaikan para porter yang menawarkan diri. Kami menaiki tangga
kapal yang hanya cukup dilalui oleh 1 orang saja, panas-panasan dan
berdesak-desakan. Banyak yang mendorong dari belakang, jika tidak bisa menjaga
keseimbangan, akan mudah terjatuh.
Kami
mendapat dua kamar kelas II sesuai dengan tiket masing-masing. Kami diberi dua
kunci masing-masing untuk tiap kamar dan petugas (ABK) mengantarkan kami hingga
ke kamar. Kamar kelas II memiliki dua
barak atas bawah dan 4 lemari masing-masing dilengkapi dengan 1 kamar mandi di
dalam
Sirine
kapal berbunyi sekali, pertanda kapal akan berangkat sebentar lagi. Para
pedagang, buruh bagasi, dan teknisi kapal yang tidak ikut berlayar bersiap-siap
turun. Dari jendela kamar, Aku memandang pelabuhan Bitung dan Masjid Agung Bitung
yang di atas kubahnya terlihat tanda salib dari gereja yang terletak di
belakangnya. Pukul 14.25 WITA Sirine kapal berbunyi panjang, dan perlahan kapal mulai
bergerak meninggalkan Bitung, kami memandang Masjid Agung sampai tidak terlihat
lagi dari jendela kamar dan kapal menjauh meninggalkan pelabuhan. Good bye Bitung...
Hampir 3 jam kapal ini berlayar dan
selama itu pula aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Aku duduk dan merenungi
keputusanku mengikuti ekspedisi ini. Jujur saja, meskipun seorang mahasiswa
Kehutanan, tapi aku sama sekali tidak ahli mengamati satwa. Mengamati tumbuhan
yang diam saja aku sering bosan, apalagi mengamati objek yang bergerak dan
belum tentu dapat dengan mudah ditemukan. Aku mengajukan proposal penelitian
ini sebenarnya hanya untuk menguji kemampuan tulis ilmiahku. Apakah tulisanku
sudah cukup layak untuk bersaing dengan tulisan-tulisan lain dari universitas
se-Indonesia, dan beruntungnya NGO ini menempatkanku dalam proyek mereka lewat
proposal yang kuajukan tersebut.
Kedua
teman yang sekamar denganku terlihat pulas. Memikirkan akan berada bersama
orang-orang asing ini selama tiga bulan di lapangan, di tempat yang belum pernah
kukunjungi, dan dengan tujuan meneliti satwa yang bahkan belum pernah kulihat
di kebun binatang sebelumnya membuat perutku mulas. Perjalanan ini mungkin
tidak seperti yang kubayangkan. Tidak sesuai harapanku dan tidak semenyenangkan
yang dipikirkan orang-orang. Ah, entahlah! Toh aku baru saja hendak memulainya.
Merasa
bosan, Aku pun bergerak keluar kamar untuk merasakan angin laut dari dek atas
kapal. Saat menaiki tangga ke atas, aku berpapasan dengan seseorang -yang
sepertinya sebayaku- mengenakan kaos warna hitam bergambar Shinichi Kudo dari
manga Jepang kesukaanku ; Detective Conan. Dia melemparkan senyumnya padaku.
Aku terkejut mendapati dia yang seolah memergokiku memperhatikan penampilannya,
lalu buru-buru naik ke atas.
Aku duduk di atas pagar yang
memisahkan dek kapal dengan kursi yang disediakan untuk penumpang. Langit
berwarna kuning kemerahan pertanda mentari akan tenggelam sebentar lagi. Aku
menikmati pemandangan disini hingga teman sekamarku menyusul memberitahuku
untuk makan malam. Aku mengikuti mereka turun menuju ruang makan di belakang
pantry. Sekali lagi, aku berpapasan dengan Si cowok Conan tadi. Kali ini dia
tersenyum ragu.
Selesai
makan malam, kami kembali ke dek atas. Kami menemukan posisi yang tepat
menikmati laut malam hari. Penumpang yang tidak mendapatkan tempat di kamar
ekonomi membuka lapak sendiri di lantai dek. Sedikit ngeri membayangkan mereka
yang berani tidur di atas dek ini, tapi aku yakin mereka sudah terbiasa karena
tak hanya 1-2 penumpang yang tidur di dek kapal. Dari samping kanan, lagi-lagi
Aku melihat Si Cowok Conan tadi. Dia bersama 2 orang penumpang lain sebaya yang
kurasa teman seperjalanannya. Seolah tau aku memperhatikannya (lebih tepatnya
pakaian yang ia kenakan), cowok itu melirik kearahku, dan kembali dia tersenyum
ragu-ragu.
Ombak
yang lumayan besar cukup membuat kami mabuk laut. Kedua teman sekamarku
memutuskan kembali ke kamar terlebih dulu, aku mengikuti mereka setelahnya.
Memutuskan menghabiskan malam dengan tidur di kamar.
9
Februari 2012
Pagi
pertama di kapal, aku terbangun mendengar ketukan pintu dari salah seorang ABK
yang mengatakan sarapan pagi telah tersedia di pantry. Kami semua bergegas mandi dan bersiap-siap.
Kami
memasuki ruang makan dan memilih meja panjang yang cukup memuat aku dan keenam
temanku. Saat menarik kursi, mataku bertemu pandang dengan orang yang sama yang
mencuri perhatianku belakangan. Si senyum ragu-ragu. Dia bersama temannya yang
semalam, duduk di pojok kanan seberang meja makan kami yang jendelanya langsung
menghadap laut. Kali ini dia benar-benar tersenyum tanpa ragu-ragu. Namun, aku
yang meragukan senyum itu bukan untukku.
Aku
tidak menikmati sarapanku. Risih karena si senyum ragu-ragu itu memperhatikanku
diam-diam. Dia menatapku dari bahu temannya, Aku menatapnya balik, beradu
pandang, dan ia langsung menunduk. Seperti terkejut karena aku mendapatinya
mencuri pandang ke arahku. Selesai makan, aku pun bergegas meninggalkan pantry, berpisah dengan keenam temanku yang kembali ke kamar dan
memutuskan untuk menikmati laut dari dek atas.
Aku
termenung di bangku samping pagar dek dengan tatapan kosong pada lautan luas.
Tanpa menyadari bahwa bukan aku sendiri yang duduk di bangku itu. Seseorang
itu. Si senyum ragu-ragu yang entah sejak kapan, sudah berada di sampingku,
menatapku. “Hai” ucapnya sambil tersenyum manis.
Aku
membalas senyumnya. Kali ini senyum itu memang ditujukan untukku. Semakin yakin
bahwa dia mengikutiku sejak dari pantry
tadi. Hening. Lama kami hanya menatap buih-buih air laut yang dihasilkan dari
mesin kapal. Hingga akhirnya dia memulai percakapan menanyakan tujuanku dan
menebak bahwa aku penggemar komik Detective Conan (sepertinya dia mengetahui
ekspresi tertarikku saat pertama kali berpapasan dengannya yang mengenakan Kaos
Shinichi Kudo), yang ternyata juga dia sukai. Obrolan kami pun mengalir lancar
tentang Conan dan juga ekspedisiku. Hingga salah seorang teman memanggilku
untuk segera ke kamar, obrolan kami terhenti dan aku baru menyadari bahwa
selama percakapan tadi, kami berdua bahkan belum mengenalkan diri! Dan aku sama
sekali tidak tahu namanya..!
Seharian
di kamar tetap saja tidak membuatku tidak memikirkan si senyum ragu-ragu. Aku
melihatnya sebagai sosok yang cerdas dari cara bicaranya selama kami mengobrol
tadi. Satu lagi, aku merasa seolah-olah sangat mengenalnya. Wajahnya sangat
familiar dan tidak asing buatku. Sedikit menyayangkan sikapku yang sedari dulu
memang susah untuk dekat dengan lawan jenis sehingga tak pernah mau untuk
menyapa duluan (dalam hal ini bertanya nama duluan). Ah, sikapku ini memang
sering membuat kesal cowok-cowok yang mendekatiku. Bahkan tak jarang Aku menyakiti
mereka. Bukan karena inginku, tapi memang sikap ‘dinginku’ yang mungkin tak
dapat diterima mereka. Mungkin karena hal inilah, sampai sekarang aku masih
belum menemukan seseorang yang tepat untuk mendampingiku.
10
Februari 2012
Pagi ini kapal berlabuh pertama kali
di Pelabuhan Sorong. Suara ribut dan berdesakan sudah terdengar dari luar
kamar. Penumpang yang turun dan yang akan naik berebut saling mendahului, tak
ketinggalan para buruh bagasi dan porter yang sepagi ini sudah berkorban tenaga
mencari nafkah.
Aku menyeduh teh yang menjadi
pembuka sarapan pagi ini. Mataku berkeliling mencari si senyum ragu-ragu. Tapi
dia tidak disini. Bahkan hingga usai menyelesaikan sarapan dan meninggalkan
pantry pun, dia tetap tidak muncul. Mungkin saja dia penumpang yang turun di
pelabuhan Sorong, pikirku. Kembali menyayangkan belum sempat menanyakan nama
dan tujuannya kemarin.
Sorong
pagi ini seperti teh yang kuminum tadi. Manis dan hangat. Seperti seseorang
yang dulu pernah dekat denganku. Seseorang yang kusuka untuk pertama kalinya
dengan kepolosan masa kecilku. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama berada di
bangku TK. Kebetulan kedua orangtua kami pun saling mengenal. Rasa itu tumbuh
ketika kami berdua sama sama mengikuti Lomba Anak Berprestasi, dia menolongku
yang terjatuh ketika main seluncuran dan yang kebagian menghabiskan sayuran
jatah makananku karena aku tidak suka makan sayur. Dia sangat hangat
memperlakukanku seperti adik perempuannya. Dia memang lebih tua setahun dariku.
Sejak saat itu aku selalu mengikutinya dan menempatkan dia sebagai pahlawan di
hatiku. Hal itu terus berlanjut hingga enam tahun kami berada di Sekolah Dasar
(SD) yang sama. Dia masih tetap menjadi penolongku. Namun, kepindahannya
mengikuti Ayahnya yang dipindah-tugaskan membuatku kehilangan dirinya. Saat itu
belum ada HP seperti sekarang, dan jadilah aku memendam rasa suka ini sendiri
tanpa sempat kuberitahukan padanya. Dia juga salah satu alasanku menyukai
Detective Conan, karena Shinichi Kudo memiliki potongan rambut yang sama sepertinya.
Aku
tersenyum memikirkan kekonyolan cinta masa kecilku. Itu dulu, bertahun-tahun
lalu saat Aku masih anak-anak. Sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis berusia
22 tahun. Dan selama 22 tahun ini pula banyak hal yang terjadi pada hidupku dan
mengubah rasaku terhadapnya. Mengapa harus mempertahankan rasa jika aku saja
tidak pernah tahu bagaimana kabarnya, pikirku saat itu.
Tak
banyak aktivitas yang kulakukan di kapal seharian ini. Hanya sebentar saja
menikmati laut dari bangku dek atas setelah itu kembali ke kamar. Pandanganku
sempat sesekali mencari si senyum ragu-ragu, tapi tetap tidak kutemukan.
Mungkin benar, dia salah satu penumpang yang turun di Pelabuhan Sorong pagi
tadi, ujarku sedikit kecewa.
11
Februari 2012
Pelabuhan
kedua yang kami singgahi adalah Fak-Fak. Sepagi ini sudah dibangunkan dengan
sirine panjang pertanda kapal akan merapat ke dermaga. Kali ini aku tidak
tertarik untuk melihat keadaan di luar kamar. Lampu-lampu pelabuhan terlihat
dari jendela kamar. Kembali aku hanya menghabiskan waktu di kamar hingga kapal
berlabuh di dermaga berikutnya : Pelabuhan Kaimana.
Kaimana.
Kata itu mengingatkanku akan sebuah tembang lama berjudul Senja Di Kaimana.
Dari liriknya, aku yakin si pencipta benar-benar menikmati senja Kaimana lewat
lagu itu. Ah, sayang sekali kami hanya merasakan siang di Kaimana tanpa sempat
menikmati keindahan senjanya. Kapal kembali berlabuh setelah merapat selama
hampir 1 jam.
Tual
adalah persinggahan keempat kami di kapal ini. Waktu saat itu menunjukkan pukul
18.10 WIT. Aku dan keenam temanku memutuskan untuk menikmati sunset di buritan kapal. Kami memilih
posisi masing-masing. Memilih view
dan sudut pandang untuk mengabadikan sang surya tenggelam dengan kamera di
tangan. Sesekali berkomunikasi dengan penumpang yang datang silih berganti.
Sepertinya penumpang yang baru naik dan masih belum menemukan posisi yang tepat
karena kehabisan barak di kelas ekonomi. Lagi lagi aku bersyukur karena kami penumpang
kelas II yang tidak perlu mengalami hal ini.
Mataku
menangkap dua orang yang mengalungi kamera SLR
menuju ke arah kami. Sepertinya mereka berniat sama, tak ingin lewat
mengabadikan sunset di Laut Arafuru
ini. Mereka mendekati kedua temanku yang berada di bagian kiri buritan. Mereka
berbincang, lama, dan akrab. Kedua temanku terlihat sangat antusias,salah
satunya si ketua rombongan menunjuk ke arah masing-masing kami. Sepertinya
memperkenalkan bahwa kami adalah anggotanya. Aku memperhatikan wajah keduanya,
merasa tidak asing, dan mengingat dimana aku pernah bertemu mereka.
Tatapanku bertemu dengan salah satunya, dia
mengangguk dan tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya, ragu. Seketika
ingatanku langsung tertuju pada saat itu, di pantry. Yap mereka berdua adalah teman si senyum ragu-ragu yang
belum sempat kuketahui namanya itu. Secercah harapan muncul di benakku. Harapan
untuk bertemu lagi dengan si senyum ragu-ragu itu. Suara si ketua rombongan
membuyarkan pikiranku. Dia mengumpulkan kami dan mengenalkan kedua orang itu.
Pantas saja mereka antusias tadi. Kedua orang itu ternyata anggota NGO yang
akan membiayai ekspedisi kami ini, dan mereka adalah supervisor kami nantinya selama di lapangan. Mereka sebelumnya
sedang bertugas di Taman Laut Bunaken, dan memilih backpacking dengan perjalanan laut karena pelabuhan terdekat saat
itu, Pelabuhan Bitung memiliki rute langsung ke Merauke. Kebetulan yang tidak
disangka. Langit mulai menggelap, sang surya sudah hampir tak terlihat lagi.
Kami berjanji akan bertemu lagi untuk briefing
dan membahas ekspedisi kami sehabis makan malam di pantry.
Makan
malam kali ini berbeda. Dengan tambahan dua orang anggota yang memiliki tujuan
yang sama, waktu yang dihabiskan bercerita pun menjadi lebih lama. Kami
membahas kondisi lapangan nantinya, dimana Merauke adalah kawasan lahan basah
terluas di Papua, yang didominasi oleh hutan dominan Melaleuca, tak seperti hutan tropis di Jawa yang kanopinya rapat.
Penelitian kami nantinya juga akan dibagi ke tiga lokasi yang berbeda di setiap
SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) dimana banyak terdapat si walabi yang
menjadi objek utama kami. Nantinya kami akan dibagi menjadi tiga kelompok, yang
akan bergantian dibimbing oleh para supervisor
itu.
Aku
tidak begitu fokus memperhatikan pembicaraan salah satu supervisor itu. Jujur, ada sedikit perasaan kecewa karena awalnya
kupikir si senyum ragu-ragu adalah salah satu bagian dari mereka. Nyatanya
tidak. Dia tidak muncul makan malam bersama kami saat ini. Aku pun tak ingin
susah susah bertanya pada dua yang lainnya karena dugaanku kuat,sama seperti
sebelumnya bahwa dia adalah penumpang yang turun di Pelabuhan Sorong dan hanya
kebetulan bertemu dengan dua orang supervisor
ini. Pembicaraan kami berakhir dengan kesimpulan pembagian kelompok akan
ditentukan ketika pembukaan ekspedisi dengan cara acak/diundi. Aku menghela
napas, menyembunyikan kekecewaanku.
12
Februari 2012
07.30
WIT Kapal kami berlabuh di Timika pagi ini. Para ABK terlihat sibuk bersiap
menurunkan tangga darurat dan jangkar untuk bersandar. Sirine kapal berbunyi
tanda kapal akan segera merapat. Penumpang yang akan turun mulai berdesakan di
pagar tangga darurat. Sementara di bawah, penumpang yang akan naik menunggu di
pinggir pelabuhan. Aku mengajak teman-teman sekamarku untuk ikut turun sebentar
ke pelabuhan, namun mereka tampak kelelahan akibat begadang semalam dan memilih
meneruskan tidurnya.
Aku
berjalan keluar kamar dan bertemu dengan Pak Silalahi di pusat informasi. Pak
Silalahi ini adalah Mualim II (pengatur arah navigasi kapal dan asisten
kapten/nakhoda kapal) yang kami kenal di awal pelayaran. Aku bertanya berapa
lama kapal akan bersandar dan sekaligus meminta ijin untuk turun ke pelabuhan
sebentar dengan dalih “tak lengkap rasanya kalau sudah sampai di Papua tapi
belum pernah menginjak tanahnya karena tak pernah turun dari kapal”. Pak
Silalahi tertawa mendengar alasanku dan memperbolehkanku turun sambil
memperingatkan apabila berbunyi sirine pertama, maka segera naik ke atas kapal.
Sirine itu merupakan sirine peringatan kapal akan siap berlayar kembali, dan di
sirine ketiga sirine paling panjang menandakan bahwa kapal sudah berlayar. Aku
tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
Turun
dari kapal, di sekeliling pelabuhan banyak mama-mama papua yang berjualan
menjajakan makanan. Aku melirik ke seorang mama papua yang menjual sayur tagas-tagas. Katanya sayur ini adalah
khas papua yang terdiri dari campuran daun pepaya, daun singkong, bunga pepaya
dan daun ganemo (melinjo). Meskipun tidak suka sayur,aku memutuskan membeli
sayur tagas-tagas yang dibungkus
dengan daun pisang tersebut.
Aku
berjalan berkeliling sekitar pelabuhan. Menghirup udara Timika di pagi hari.
Mencari spot nyaman untuk duduk di
tepian sambil mencoba sayur tagas-tagas
yang kubeli tadi.
“Memangnya
kamu suka makan sayur? Bukannya jatah sayurmu selalu diberikan ke orang?” suara
di belakang mengagetkanku. Aku menoleh ke asal suara itu. Senyumku mengembang
ketika melihat si pemilik suara. Si senyum ragu-ragu, si cowok conan yang juga
tersenyum dan berjalan menghampiriku!
“Darimana
kamu tahu aku tidak suka makan sayur? Aku pikir tidak akan bertemu kamu lagi
karena kamu sudah turun di pelabuhan Sorong” ucapku padanya.
“Harlan,
namaku Harlan. Dan karena cadel, kamu memanggilku dengan sebutan Alan. Tujuanku
bukan Sorong, tapi Merauke. Sama seperti kedua temanku yang kamu temui semalam,
aku pun salah seorang supervisor
kalian untuk tiga bulan ke depan. Sudah bertahun-tahun, namun ternyata kamu
masih tetap saja mengikutiku” ucapnya kemudian langsung merangkulku.
Aku
terkejut dalam rangkulannya, tidak percaya dan masih mencerna ucapannya. Dia
yang saat ini di hadapanku, dia yang sedang merangkulku, si senyum ragu-ragu, si
cowok conan yang belakangan menarik perhatianku adalah Kak Alan cinta masa
kecilku! Sang Pahlawan yang sudah bertahun-tahun menghilang di hatiku!
Pantas
saja Aku merasa tidak asing dengan wajahnya, pantas saja aku sudah merasa
tertarik saat berpapasan dengannya, pantas saja....
Ah,
tinggal dua pelabuhan lagi sebelum sampai di tujuan (Pelabuhan Agats, dan
Merauke), namun aku merasa hatiku sudah ‘kembali’ menemukan pelabuhannya.
Perjalanan yang tadinya tak seperti yang kuharapkan tetiba berubah menyenangkan
dan aku tak sabar untuk segera memulainya bersama “pelabuhanku” ini.!
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
“Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Annieke!!! Seru bgt bacanya. Bikin novel aja sudah... hahahaha :-D
BalasHapusHahaha...
BalasHapusAamiinn...mohon doanya Cabelita..:)