About Ke

Foto saya
Mengelola perasaan, meng-nolkan ekspektasi

Sabtu, 27 Juni 2015

Journey to the Port of My Heart

Pelabuhan Bitung, 8 Februari 2012
Aku melangkahkan kaki memasuki gerbang pelabuhan. Bersama keenam orang temanku, kami akan melakukan perjalanan ke ke Pulau paling timur Indonesia ; Papua, tepatnya Merauke. Perjalanan ini merupakan bagian dari ekspedisi keanekaragaman hayati. Kami mahasiswa tingkat akhir yang proposalnya terpilih akan melakukan penelitian skripsi dibiayai oleh salah satu NGO internasional yang memiliki program penelitian Wallaby (Mamalia berkantung/Kanguru Lapang) di Taman Nasional Wasur. Dan aku termasuk salah satu dari ketujuh  mahasiswa beruntung itu. Bersama dengan enam orang lainnya dari universitas yang berbeda, kami memutuskan untuk menempuh perjalanan laut untuk sampai ke tujuan : Merauke.

Alasan pemilihan jalur laut adalah alasan klasik khas mahasiswa. Karena transportasi yang dibiayai hanya untuk satu kali perjalanan (Merauke-Jakarta), dengan tujuan untuk berhemat, kami memilih menggunakan jalur laut yang kami tempuh dari pelabuhan Bitung, Manado. Alasan lainnya juga adalah untuk lebih mengenal dan mengakrabkan kami, para mahasiswa terpilih yang belum pernah bertemu satu sama lain.Meskipun tidak saling kenal, tapi ternyata kami memiliki hobi yang sama ; travelling. Sehingga kami menyetujui untuk bertemu langsung di Manado dan menggunakan kapal berada di tengah-laut berhari-hari demi mencapai tujuan.
 Pelabuhan sudah ramai dengan orang-orang. Penumpang, pedagang, buruh bagasi, dan porter bercampur baur. Aku melihat kapal yang akan kami naiki ; KM TATAMAILAU. Kami yang memiliki beban barang bawaan masing-masing mengabaikan para porter yang menawarkan diri. Kami menaiki tangga kapal yang hanya cukup dilalui oleh 1 orang saja, panas-panasan dan berdesak-desakan. Banyak yang mendorong dari belakang, jika tidak bisa menjaga keseimbangan, akan mudah terjatuh.
Kami mendapat dua kamar kelas II sesuai dengan tiket masing-masing. Kami diberi dua kunci masing-masing untuk tiap kamar dan petugas (ABK) mengantarkan kami hingga ke kamar. Kamar kelas II  memiliki dua barak atas bawah dan 4 lemari masing-masing dilengkapi dengan 1 kamar mandi di dalam
Sirine kapal berbunyi sekali, pertanda kapal akan berangkat sebentar lagi. Para pedagang, buruh bagasi, dan teknisi kapal yang tidak ikut berlayar bersiap-siap turun. Dari jendela kamar, Aku memandang pelabuhan Bitung dan Masjid Agung Bitung yang di atas kubahnya terlihat tanda salib dari gereja yang terletak di belakangnya. Pukul 14.25 WITA Sirine kapal berbunyi panjang, dan perlahan  kapal  mulai bergerak meninggalkan Bitung, kami memandang Masjid Agung sampai tidak terlihat lagi dari jendela kamar dan kapal menjauh meninggalkan pelabuhan. Good bye Bitung...
            Hampir 3 jam kapal ini berlayar dan selama itu pula aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Aku duduk dan merenungi keputusanku mengikuti ekspedisi ini. Jujur saja, meskipun seorang mahasiswa Kehutanan, tapi aku sama sekali tidak ahli mengamati satwa. Mengamati tumbuhan yang diam saja aku sering bosan, apalagi mengamati objek yang bergerak dan belum tentu dapat dengan mudah ditemukan. Aku mengajukan proposal penelitian ini sebenarnya hanya untuk menguji kemampuan tulis ilmiahku. Apakah tulisanku sudah cukup layak untuk bersaing dengan tulisan-tulisan lain dari universitas se-Indonesia, dan beruntungnya NGO ini menempatkanku dalam proyek mereka lewat proposal yang kuajukan tersebut.
Kedua teman yang sekamar denganku terlihat pulas. Memikirkan akan berada bersama orang-orang asing ini selama tiga bulan di lapangan, di tempat yang belum pernah kukunjungi, dan dengan tujuan meneliti satwa yang bahkan belum pernah kulihat di kebun binatang sebelumnya membuat perutku mulas. Perjalanan ini mungkin tidak seperti yang kubayangkan. Tidak sesuai harapanku dan tidak semenyenangkan yang dipikirkan orang-orang. Ah, entahlah! Toh aku baru saja hendak memulainya.
Merasa bosan, Aku pun bergerak keluar kamar untuk merasakan angin laut dari dek atas kapal. Saat menaiki tangga ke atas, aku berpapasan dengan seseorang -yang sepertinya sebayaku- mengenakan kaos warna hitam bergambar Shinichi Kudo dari manga Jepang kesukaanku ; Detective Conan. Dia melemparkan senyumnya padaku. Aku terkejut mendapati dia yang seolah memergokiku memperhatikan penampilannya, lalu buru-buru naik ke atas.
            Aku duduk di atas pagar yang memisahkan dek kapal dengan kursi yang disediakan untuk penumpang. Langit berwarna kuning kemerahan pertanda mentari akan tenggelam sebentar lagi. Aku menikmati pemandangan disini hingga teman sekamarku menyusul memberitahuku untuk makan malam. Aku mengikuti mereka turun menuju ruang makan di belakang pantry. Sekali lagi, aku berpapasan dengan Si cowok Conan tadi. Kali ini dia tersenyum ragu.
Selesai makan malam, kami kembali ke dek atas. Kami menemukan posisi yang tepat menikmati laut malam hari. Penumpang yang tidak mendapatkan tempat di kamar ekonomi membuka lapak sendiri di lantai dek. Sedikit ngeri membayangkan mereka yang berani tidur di atas dek ini, tapi aku yakin mereka sudah terbiasa karena tak hanya 1-2 penumpang yang tidur di dek kapal. Dari samping kanan, lagi-lagi Aku melihat Si Cowok Conan tadi. Dia bersama 2 orang penumpang lain sebaya yang kurasa teman seperjalanannya. Seolah tau aku memperhatikannya (lebih tepatnya pakaian yang ia kenakan), cowok itu melirik kearahku, dan kembali dia tersenyum ragu-ragu.
Ombak yang lumayan besar cukup membuat kami mabuk laut. Kedua teman sekamarku memutuskan kembali ke kamar terlebih dulu, aku mengikuti mereka setelahnya. Memutuskan menghabiskan malam dengan tidur di kamar.

9 Februari 2012
Pagi pertama di kapal, aku terbangun mendengar ketukan pintu dari salah seorang ABK yang mengatakan sarapan pagi telah tersedia di pantry. Kami semua bergegas mandi dan bersiap-siap.
Kami memasuki ruang makan dan memilih meja panjang yang cukup memuat aku dan keenam temanku. Saat menarik kursi, mataku bertemu pandang dengan orang yang sama yang mencuri perhatianku belakangan. Si senyum ragu-ragu. Dia bersama temannya yang semalam, duduk di pojok kanan seberang meja makan kami yang jendelanya langsung menghadap laut. Kali ini dia benar-benar tersenyum tanpa ragu-ragu. Namun, aku yang meragukan senyum itu bukan untukku.
Aku tidak menikmati sarapanku. Risih karena si senyum ragu-ragu itu memperhatikanku diam-diam. Dia menatapku dari bahu temannya, Aku menatapnya balik, beradu pandang, dan ia langsung menunduk. Seperti terkejut karena aku mendapatinya mencuri pandang ke arahku. Selesai makan, aku pun bergegas meninggalkan pantry, berpisah dengan  keenam temanku yang kembali ke kamar dan memutuskan untuk menikmati laut dari dek atas.
Aku termenung di bangku samping pagar dek dengan tatapan kosong pada lautan luas. Tanpa menyadari bahwa bukan aku sendiri yang duduk di bangku itu. Seseorang itu. Si senyum ragu-ragu yang entah sejak kapan, sudah berada di sampingku, menatapku. “Hai” ucapnya sambil tersenyum manis.
Aku membalas senyumnya. Kali ini senyum itu memang ditujukan untukku. Semakin yakin bahwa dia mengikutiku sejak dari pantry tadi. Hening. Lama kami hanya menatap buih-buih air laut yang dihasilkan dari mesin kapal. Hingga akhirnya dia memulai percakapan menanyakan tujuanku dan menebak bahwa aku penggemar komik Detective Conan (sepertinya dia mengetahui ekspresi tertarikku saat pertama kali berpapasan dengannya yang mengenakan Kaos Shinichi Kudo), yang ternyata juga dia sukai. Obrolan kami pun mengalir lancar tentang Conan dan juga ekspedisiku. Hingga salah seorang teman memanggilku untuk segera ke kamar, obrolan kami terhenti dan aku baru menyadari bahwa selama percakapan tadi, kami berdua bahkan belum mengenalkan diri! Dan aku sama sekali tidak tahu namanya..!
Seharian di kamar tetap saja tidak membuatku tidak memikirkan si senyum ragu-ragu. Aku melihatnya sebagai sosok yang cerdas dari cara bicaranya selama kami mengobrol tadi. Satu lagi, aku merasa seolah-olah sangat mengenalnya. Wajahnya sangat familiar dan tidak asing buatku. Sedikit menyayangkan sikapku yang sedari dulu memang susah untuk dekat dengan lawan jenis sehingga tak pernah mau untuk menyapa duluan (dalam hal ini bertanya nama duluan). Ah, sikapku ini memang sering membuat kesal cowok-cowok yang mendekatiku. Bahkan tak jarang Aku menyakiti mereka. Bukan karena inginku, tapi memang sikap ‘dinginku’ yang mungkin tak dapat diterima mereka. Mungkin karena hal inilah, sampai sekarang aku masih belum menemukan seseorang yang tepat untuk mendampingiku.

10 Februari 2012
            Pagi ini kapal berlabuh pertama kali di Pelabuhan Sorong. Suara ribut dan berdesakan sudah terdengar dari luar kamar. Penumpang yang turun dan yang akan naik berebut saling mendahului, tak ketinggalan para buruh bagasi dan porter yang sepagi ini sudah berkorban tenaga mencari nafkah.
            Aku menyeduh teh yang menjadi pembuka sarapan pagi ini. Mataku berkeliling mencari si senyum ragu-ragu. Tapi dia tidak disini. Bahkan hingga usai menyelesaikan sarapan dan meninggalkan pantry pun, dia tetap tidak muncul. Mungkin saja dia penumpang yang turun di pelabuhan Sorong, pikirku. Kembali menyayangkan belum sempat menanyakan nama dan tujuannya kemarin.
Sorong pagi ini seperti teh yang kuminum tadi. Manis dan hangat. Seperti seseorang yang dulu pernah dekat denganku. Seseorang yang kusuka untuk pertama kalinya dengan kepolosan masa kecilku. Aku mengenalnya ketika kami sama-sama berada di bangku TK. Kebetulan kedua orangtua kami pun saling mengenal. Rasa itu tumbuh ketika kami berdua sama sama mengikuti Lomba Anak Berprestasi, dia menolongku yang terjatuh ketika main seluncuran dan yang kebagian menghabiskan sayuran jatah makananku karena aku tidak suka makan sayur. Dia sangat hangat memperlakukanku seperti adik perempuannya. Dia memang lebih tua setahun dariku. Sejak saat itu aku selalu mengikutinya dan menempatkan dia sebagai pahlawan di hatiku. Hal itu terus berlanjut hingga enam tahun kami berada di Sekolah Dasar (SD) yang sama. Dia masih tetap menjadi penolongku. Namun, kepindahannya mengikuti Ayahnya yang dipindah-tugaskan membuatku kehilangan dirinya. Saat itu belum ada HP seperti sekarang, dan jadilah aku memendam rasa suka ini sendiri tanpa sempat kuberitahukan padanya. Dia juga salah satu alasanku menyukai Detective Conan, karena Shinichi Kudo memiliki potongan rambut yang sama sepertinya.
Aku tersenyum memikirkan kekonyolan cinta masa kecilku. Itu dulu, bertahun-tahun lalu saat Aku masih anak-anak. Sekarang aku sudah tumbuh menjadi gadis berusia 22 tahun. Dan selama 22 tahun ini pula banyak hal yang terjadi pada hidupku dan mengubah rasaku terhadapnya. Mengapa harus mempertahankan rasa jika aku saja tidak pernah tahu bagaimana kabarnya, pikirku saat itu.
Tak banyak aktivitas yang kulakukan di kapal seharian ini. Hanya sebentar saja menikmati laut dari bangku dek atas setelah itu kembali ke kamar. Pandanganku sempat sesekali mencari si senyum ragu-ragu, tapi tetap tidak kutemukan. Mungkin benar, dia salah satu penumpang yang turun di Pelabuhan Sorong pagi tadi, ujarku sedikit kecewa.

11 Februari 2012
Pelabuhan kedua yang kami singgahi adalah Fak-Fak. Sepagi ini sudah dibangunkan dengan sirine panjang pertanda kapal akan merapat ke dermaga. Kali ini aku tidak tertarik untuk melihat keadaan di luar kamar. Lampu-lampu pelabuhan terlihat dari jendela kamar. Kembali aku hanya menghabiskan waktu di kamar hingga kapal berlabuh di dermaga berikutnya : Pelabuhan Kaimana.
Kaimana. Kata itu mengingatkanku akan sebuah tembang lama berjudul Senja Di Kaimana. Dari liriknya, aku yakin si pencipta benar-benar menikmati senja Kaimana lewat lagu itu. Ah, sayang sekali kami hanya merasakan siang di Kaimana tanpa sempat menikmati keindahan senjanya. Kapal kembali berlabuh setelah merapat selama hampir 1 jam.
Tual adalah persinggahan keempat kami di kapal ini. Waktu saat itu menunjukkan pukul 18.10 WIT. Aku dan keenam temanku memutuskan untuk menikmati sunset di buritan kapal. Kami memilih posisi masing-masing. Memilih view dan sudut pandang untuk mengabadikan sang surya tenggelam dengan kamera di tangan. Sesekali berkomunikasi dengan penumpang yang datang silih berganti. Sepertinya penumpang yang baru naik dan masih belum menemukan posisi yang tepat karena kehabisan barak di kelas ekonomi. Lagi lagi aku bersyukur karena kami penumpang kelas II yang tidak perlu mengalami hal ini.
Mataku menangkap dua orang yang mengalungi kamera SLR menuju ke arah kami. Sepertinya mereka berniat sama, tak ingin lewat mengabadikan sunset di Laut Arafuru ini. Mereka mendekati kedua temanku yang berada di bagian kiri buritan. Mereka berbincang, lama, dan akrab. Kedua temanku terlihat sangat antusias,salah satunya si ketua rombongan menunjuk ke arah masing-masing kami. Sepertinya memperkenalkan bahwa kami adalah anggotanya. Aku memperhatikan wajah keduanya, merasa tidak asing, dan mengingat dimana aku pernah bertemu mereka.
 Tatapanku bertemu dengan salah satunya, dia mengangguk dan tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya, ragu. Seketika ingatanku langsung tertuju pada saat itu, di pantry. Yap mereka berdua adalah teman si senyum ragu-ragu yang belum sempat kuketahui namanya itu. Secercah harapan muncul di benakku. Harapan untuk bertemu lagi dengan si senyum ragu-ragu itu. Suara si ketua rombongan membuyarkan pikiranku. Dia mengumpulkan kami dan mengenalkan kedua orang itu. Pantas saja mereka antusias tadi. Kedua orang itu ternyata anggota NGO yang akan membiayai ekspedisi kami ini, dan mereka adalah supervisor kami nantinya selama di lapangan. Mereka sebelumnya sedang bertugas di Taman Laut Bunaken, dan memilih backpacking dengan perjalanan laut karena pelabuhan terdekat saat itu, Pelabuhan Bitung memiliki rute langsung ke Merauke. Kebetulan yang tidak disangka. Langit mulai menggelap, sang surya sudah hampir tak terlihat lagi. Kami berjanji akan bertemu lagi untuk briefing dan membahas ekspedisi kami sehabis makan malam di pantry.
Makan malam kali ini berbeda. Dengan tambahan dua orang anggota yang memiliki tujuan yang sama, waktu yang dihabiskan bercerita pun menjadi lebih lama. Kami membahas kondisi lapangan nantinya, dimana Merauke adalah kawasan lahan basah terluas di Papua, yang didominasi oleh hutan dominan Melaleuca, tak seperti hutan tropis di Jawa yang kanopinya rapat. Penelitian kami nantinya juga akan dibagi ke tiga lokasi yang berbeda di setiap SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) dimana banyak terdapat si walabi yang menjadi objek utama kami. Nantinya kami akan dibagi menjadi tiga kelompok, yang akan bergantian dibimbing oleh para supervisor itu.
Aku tidak begitu fokus memperhatikan pembicaraan salah satu supervisor itu. Jujur, ada sedikit perasaan kecewa karena awalnya kupikir si senyum ragu-ragu adalah salah satu bagian dari mereka. Nyatanya tidak. Dia tidak muncul makan malam bersama kami saat ini. Aku pun tak ingin susah susah bertanya pada dua yang lainnya karena dugaanku kuat,sama seperti sebelumnya bahwa dia adalah penumpang yang turun di Pelabuhan Sorong dan hanya kebetulan bertemu dengan dua orang supervisor ini. Pembicaraan kami berakhir dengan kesimpulan pembagian kelompok akan ditentukan ketika pembukaan ekspedisi dengan cara acak/diundi. Aku menghela napas, menyembunyikan kekecewaanku.

12 Februari 2012
07.30 WIT Kapal kami berlabuh di Timika pagi ini. Para ABK terlihat sibuk bersiap menurunkan tangga darurat dan jangkar untuk bersandar. Sirine kapal berbunyi tanda kapal akan segera merapat. Penumpang yang akan turun mulai berdesakan di pagar tangga darurat. Sementara di bawah, penumpang yang akan naik menunggu di pinggir pelabuhan. Aku mengajak teman-teman sekamarku untuk ikut turun sebentar ke pelabuhan, namun mereka tampak kelelahan akibat begadang semalam dan memilih meneruskan tidurnya.
Aku berjalan keluar kamar dan bertemu dengan Pak Silalahi di pusat informasi. Pak Silalahi ini adalah Mualim II (pengatur arah navigasi kapal dan asisten kapten/nakhoda kapal) yang kami kenal di awal pelayaran. Aku bertanya berapa lama kapal akan bersandar dan sekaligus meminta ijin untuk turun ke pelabuhan sebentar dengan dalih “tak lengkap rasanya kalau sudah sampai di Papua tapi belum pernah menginjak tanahnya karena tak pernah turun dari kapal”. Pak Silalahi tertawa mendengar alasanku dan memperbolehkanku turun sambil memperingatkan apabila berbunyi sirine pertama, maka segera naik ke atas kapal. Sirine itu merupakan sirine peringatan kapal akan siap berlayar kembali, dan di sirine ketiga sirine paling panjang menandakan bahwa kapal sudah berlayar. Aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
Turun dari kapal, di sekeliling pelabuhan banyak mama-mama papua yang berjualan menjajakan makanan. Aku melirik ke seorang mama papua yang menjual sayur tagas-tagas. Katanya sayur ini adalah khas papua yang terdiri dari campuran daun pepaya, daun singkong, bunga pepaya dan daun ganemo (melinjo). Meskipun tidak suka sayur,aku memutuskan membeli sayur tagas-tagas yang dibungkus dengan daun pisang tersebut.
Aku berjalan berkeliling sekitar pelabuhan. Menghirup udara Timika di pagi hari. Mencari spot nyaman untuk duduk di tepian sambil mencoba sayur tagas-tagas yang kubeli tadi.
“Memangnya kamu suka makan sayur? Bukannya jatah sayurmu selalu diberikan ke orang?” suara di belakang mengagetkanku. Aku menoleh ke asal suara itu. Senyumku mengembang ketika melihat si pemilik suara. Si senyum ragu-ragu, si cowok conan yang juga tersenyum dan berjalan menghampiriku!
“Darimana kamu tahu aku tidak suka makan sayur? Aku pikir tidak akan bertemu kamu lagi karena kamu sudah turun di pelabuhan Sorong” ucapku padanya.
“Harlan, namaku Harlan. Dan karena cadel, kamu memanggilku dengan sebutan Alan. Tujuanku bukan Sorong, tapi Merauke. Sama seperti kedua temanku yang kamu temui semalam, aku pun salah seorang supervisor kalian untuk tiga bulan ke depan. Sudah bertahun-tahun, namun ternyata kamu masih tetap saja mengikutiku” ucapnya kemudian langsung merangkulku.
Aku terkejut dalam rangkulannya, tidak percaya dan masih mencerna ucapannya. Dia yang saat ini di hadapanku, dia yang sedang merangkulku, si senyum ragu-ragu, si cowok conan yang belakangan menarik perhatianku adalah Kak Alan cinta masa kecilku! Sang Pahlawan yang sudah bertahun-tahun menghilang di hatiku!
Pantas saja Aku merasa tidak asing dengan wajahnya, pantas saja aku sudah merasa tertarik saat berpapasan dengannya, pantas saja....
Ah, tinggal dua pelabuhan lagi sebelum sampai di tujuan (Pelabuhan Agats, dan Merauke), namun aku merasa hatiku sudah ‘kembali’ menemukan pelabuhannya. Perjalanan yang tadinya tak seperti yang kuharapkan tetiba berubah menyenangkan dan aku tak sabar untuk segera memulainya bersama “pelabuhanku” ini.!


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

2 komentar:

  1. Annieke!!! Seru bgt bacanya. Bikin novel aja sudah... hahahaha :-D

    BalasHapus
  2. Hahaha...
    Aamiinn...mohon doanya Cabelita..:)

    BalasHapus