About Ke

Foto saya
Mengelola perasaan, meng-nolkan ekspektasi

Senin, 19 Juni 2017

"Nama Saya Latong Bu, Bukan Lotong"

Ini cerita tentang salah satu kunang-kunang lanaiku. Saparuddin nama aslinya. Tapi lebih dikenal dengan sebutan Latong. Beberapa guru ada yang memanggilnya Matong. Latong sekarang duduk di kelas 5. Dia salah satu dari 11 murid yang mengajakku ke Pantai Pasir Putih di awal kedatanganku dulu. Aku memang tidak pernah bertanya kenapa dia dipanggil Latong. Tapi dari yang kulihat, Aku sudah mengetahui alasannya.

Latong berkulit hitam gelap. Bahasa Bugis (masyarakat di Desa sebagian besar bersuku Bugis)hitam adalah lotong. La lotong disingkat Latong (La merupakan sebutan panggilan kepada seseorang sebelum nama orang tersebut). Mungkin itu asal mula nama panggilannya menjadi Latong.
Meskipun hitam, Latong terlihat manis dengan kedua lesung pipi di wajahnya. Latong anak yang lucu. Ada-ada saja celetukan ngasalnya yang sering membuat tertawa. Aku ingat ketika di Pasir Putih dulu, dia berupaya keras menarik perhatianku dengan celetukan-celetukan aneh yang malah membuat dirinya sendiri ditertawakan.  Dia bahkan berpura-pura tenggelam ketika itu, lalu muncul kembali ke permukaan dengan senyum malunya karena tidak ada yang memperhatikan “aksi bohongannya” tersebut. Senyum malu dengan dua lesung pipi itu semakin membuat dia terlihat manis saja. Ditambah deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulitnya dan mata yang menyipit ketika sedang tertawa atau senyum.



Satu hal lagi yang unik dari Latong, ketika bernyanyi dia mempunyai cengkok dangdut yang khas. Seringkali keluar senandung nyanyian dangdut dari suaranya yang khas ketika menunggu perahu untuk pulang di dermaga sekolah. Bahkan ketika di kelas sekalipun. Semakin dipuji, semakin sering dia bernyanyi bahkan mengganti lagu dengan lagu dangdut lainnya. Dari pengakuannya, dia hapal semua lagu-lagu Rhoma Irama. Pernah sesekali kutanya “Latong ingin menjadi penyanyi dangdut kah? Sudah ada modal suara dan cengkok dangdut yang khas” Dia hanya tersipu sambil mengeraskan nyanyiannya.

Hari itu bosi (hujan) lebat di sekolah. Guru-guru sibuk mengeluarkan ember dan derigen untuk menampung air hujan (Sekolah kami belum dialiri listrik dan juga PDAM. Sumber air adalah dari sungai di pinggir sekolah. Setiap hari anak-anak mengambil air sungai untuk mengisi ember dan bak kamar mandi, Adanya hujan merupakan berkah sehingga anak-anak tidak perlu turun mengambil air ke sungai.) Aku meminta bantuan Latong membantu mengangkat ember yang sudah penuh.

“Latong, bantu Ibu angkat ember ini ya,” ujarku. “Nama saya Latong, Bu bukan lotong” dia berujar protes yang mengundang gelak tawa teman-teman di sekitarnya. “lah, Ibu kan memang manggil latong, bukan lotong” jawabku heran. Mungkin suara hujan yang deras membuatnya tidak terlalu jelas mendengar panggilanku. “Saya dengarnya Ibu tadi bilang lotong” ujarnya lagi. “Ndak papa je’, kamu lotong (hitam) memang” ucap salah satu temannya. Dia kembali tersenyum, senyum khas dengan dua lesung pipi dan deretan gigi yang kontras dengan kelotongannya. “Iye (Iya dalam bahasa Bugis), saya lotong memang je’ Bu” katanya dengan senyum. Tak ada marah, tak ada sakit hati karena ejekan itu. Ah, Latong, Kunang-kunang lotongku. Kelotonganmu semoga tetap memberi warna pada orang-orang di sekelilingmu...:)

1 komentar: