About Ke

Foto saya
Mengelola perasaan, meng-nolkan ekspektasi

Rabu, 30 Oktober 2019

Melukis Masa Depan


Taman Kanak-Kanak Pertiwi, Sungai Penuh...
Aku memandang papan nama yang sudah hampir roboh terpancang di halaman bangunan itu. Tak banyak yang berubah, masih ada bangunan seluncuran berbentuk buah nanas yang sering kujadikan tempat persembunyianku dulu, masih ada ayunan kayu di halaman samping, dan Ruangan Kepala Sekolah yang sepertinya tidak pernah direnovasi (sama halnya dengan ruang kelas lainnya disitu), tempat favoritku ketika menunggu dijemput orangtuaku.

Ingatanku melayang pada 18 tahun lalu. Waktu dimana pertama kalinya Aku menginjakkan kaki di halaman gedung TK ini. Saat itu tahun ajaran baru dan pertama kalinya Aku mendapatkan pendidikan formal selain pendidikan terbaik yang kudapat dari kedua orangtuaku di rumah. Aku setuju dengan pendapat yang menyatakan “Pendidik terbaik seorang anak adalah Ibunya”, tapi kali ini Aku tidak akan berbicara tentang Ibu yang kusebut Mama, bukan berarti Aku anak durhaka yang melupakan orangtua, hanya saja jika menulis tentang mereka dan jasa-jasanya dalam mendidikku, maka tidak akan cukup 5 halaman A4 yang diharuskan untukku bercerita tentangnya. Kali ini aku akan bercerita tentang seseorang yang menginspirasiku untuk bisa mewujudkan harapanku sedari dini.

Aku menarik pagar yang sekaligus menjadi pintu gerbang bangunan sekolah itu. Ibu Nur Azizah, janda dengan dua orang anak yang menyambutku pertama kali di gerbang ini dan mengajarkanku untuk membalas sambutannya dengan mencium tangannya. “Mencium tangan orang yang lebih tua membuat mereka sangat dihargai oleh dirimu” ucapnya yang disertai anggukan kepala kecilku. Bu Zizah, Beliau biasa dipanggil. Namun karena kecadelanku saat itu, Aku memanggilnya dengan sebutan Bu Jijah, yang akhirnya jadi panggilan kesayanganku untuk Beliau.

Bu Jijah Kepala Sekolah yang tegas dan disiplin. Meski di usia saat itu Aku belum mengerti apa arti kedua kata itu, tapi Aku bisa melihat dari sikap yang ditunjukkannya pada kami. Bu Jijah akan memukul lembut tangan muridnya yang menerima/mengambil sesuatu dengan tangan kiri, bahkan Beliau tidak segan menghukum anak muridnya di depan orangtua mereka bila melihat tugas yang harus kami selesaikan di akhir pelajaran masih dibantu orangtua (yang menunggu anaknya di ruangan) dalam pengerjaannya (karena yang lebih dulu selesai, dia yang boleh pulang lebih awal).

Dibalik semua sikap keras dan tegas Bu Jijah, Beliau masih memiliki kelembutan seorang Ibu yang tidak jarang diperlihatkannya pada kami. Bu Jijah akan memeluk dan mencium muridnya apabila hasil pekerjaannya mendapatkan stempel bintang lima (Pada masa dulu, penilaian oleh guru dengan memberikan stempel bintang lima yang setara dengan nilai A+ atau Excellent pada lembar kerja) layaknya seorang Ibu yang bangga melihat balitanya mampu menyebut kata MAMA dengan sempurna.

Aku tersenyum kembali mengingat kejadian itu. Kali ini Aku sudah berdiri di depan ruangan Kepala sekolah. Ruangan yang pernah ditempati Bu Jijah selama bertahun-tahun menjadi Kepala Sekolah di TK ini. Bu Jijah tidak hanya menjadi Kepala Sekolah dan Guru TK-ku saja, tetapi juga Guru bagi kedua adikku yang juga bersekolah di TK yang sama. 

Aku mengintip ke dalam ruangan dari balik jendela. Di samping kanan meja Kepala Sekolah terdapat Lemari kaca besar yang berisi piala/trophy dari anak-anak yang berprestasi dalam ajang kreativitas dan perlombaan yang diadakan setiap tahunnya. Lemari lima tingkat itu semuanya penuh terisi. Piala-piala yang jumlahnya ribuan itu tersusun rapi. Aku tersenyum karena dulu saat Aku menyumbangkan piala ke TK ini, piala itu tidak beranak hingga sebanyak ini. Aku menyumbangkan tiga piala atas prestasiku dalam melukis.

Adalah Bu Jijah yang pertama kali menemukan bakatku. Beliau yang saat itu memergokiku sedang melukis buah nanas representasi dari bangunan seluncuran yang ada di depan TK kami. Beliau yang memberikan stempel bintang lima pada lukisan karyaku yang didaftarkannya untuk Lomba Kabupaten. Dan ketika lukisan itu mendapat juara pertama, Beliau mengatakan bahwa Aku adalah anak hebat yang akan selalu membanggakan orang-orang di sekelilingku.

Dua tahun mengenyam pendidikan formal di TK, selama dua tahun itu pula Aku sangat dekat dengan Bu Jijah. Tak hanya denganku, Bu Jijah juga dekat dengan keluargaku. Ketika usiaku menginjak 6 tahun, Aku lulus dari TK dan dianjurkan untuk melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) meski usiaku masih belum cukup. Saat itu tidak ada larangan anak-anak yang mendaftar ke SD harus berusia minimal 7 tahun seperti sekarang.

Meski sudah berpisah dengan dunia TK, tidak bertemu Bu Jijah lagi sebagai Guru dan Kepala Sekolahku, tapi sosok Beliau tidak begitu saja lepas dari pikiranku. Aku menjadikan Beliau sebagai sosok yang menjadi inspirasi dalam cita-citaku. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis sesuai dengan bakatku dan juga Guru TK. Seorang Guru TK seperti Beliau yang disayangi dan menyayangi murid-muridnya.

 “Aku ada untuk membanggakan orang-orang di sekelilingku.” Bu Jijah benar. Selama masa pendidikanku, dari TK hingga SMA, Aku selalu menyumbangkan prestasi-prestasi yang mengharumkan nama sekolah dan membuat bangga orang-orang di sekelilingku. Namun, prestasi ini juga menjadi suatu dilema bagiku. Dengan segudang prestasi yang kuberikan, tentunya semua orang berharap yang terbaik bagiku bahkan dalam pemilihan perguruan tinggi yang tepat bagiku. Prestasi tinggi sebanding dengan cita-cita tinggi. Begitu ucap mereka. Tapi selalu kulihat wajah-wajah kecewa setiap kali Aku menyebutkan cita-citaku menjadi Guru TK. Banyak yang menentang keinginanku ketika kukatakan hanya ingin melanjutkan ke PGTK. Mereka seolah tidak mempercayai ucapanku. Bahkan tak banyak yang terang-terangan menyebutku bodoh. “Apa yang bisa kau harapkan dari Guru TK? Dengan kelebihanmu tentu saja Kau punya lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan yang lebih layak” ucap salah seorang temanku.

Aku memang memiliki cita-cita yang (kata orang-orang) tergolong sederhana : Guru TK. Meski sempat ditertawakan (karena menurut mereka, cita-cita itu harusnya setinggi langit, bukan tugas ‘mulia’ seperti itu) tapi aku yakin dengan keinginanku. Sebab bagiku cita-cita adalah impian yang harus aku gapai dan aku wujudkan. Untuk apa mempunyai cita-cita setinggi langit jika kita tak mampu mencapainya dan malah jatuh pada dasar bumi yang serendah-rendahnya. Itu kalimat ungkapan dan pembelaanku setiap ditanyakan alasan mengapa aku memiliki cita-cita sesederhana itu.
 
Dan benar bahwa hidup itu adalah pilihan. Maka Aku pun menjatuhkan pilihan yang tentu saja harus dapat Aku terima segala konsekuensinya. Tentunya Aku akan bertanggung jawab dengan pilihan hidupku itu.

Lamunanku terusik dengan kehadiran seorang perempuan yang tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. Rambutnya yang hampir memutih seluruhnya menjadi saksi bahwa kehidupan pun memakan usia dan parasnya. Raut tegas masih tampak jelas pada wajah keriputnya. Bu Jijah, Guru yang paling kuhormati dan selalu menjadi inspirasiku.

Seperti usiaku yang masih 4 tahun saat itu, Beliau menyambutku kembali di TK ini. Aku mencium tangan yang Beliau ulurkan untuk merangkulku. Aku membalas rangkulan beliau. Memeluknya erat seakan tidak ingin dilepas. Beliau menitikkan airmata melihatku. Aku pun tak kuasa menahan haru pada pertemuan ini. Bertemu kembali Guru yang selalu membuatku ingin seperti dirinya, mengikuti jejaknya.

Ya. Aku kembali ke TK ini. Bukan lagi sebagai murid ingusan saat pertama kali disini, tapi sebagai Guru yang akan mengajar anak-anak disini. Seperti kukatakan sebelumnya, hidup adalah pilihan. Dan Aku memilih untuk tetap melanjutkan cita-citaku menjadi Guru TK. Meskipun keinginanku untuk melanjutkan ke PGTK tidak terlaksana. Aku meneruskan pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri jurusan Seni Rupa sebagai mahasiswa undangan. Dan dengan bakat melukisku, aku terpilih beberapa kali mewakili kampus di ajang nasional maupun internasional.

Aku lulusan terbaik dari Fakultas Seni dengan predikat cumlaude. Bahkan setelah lulus, menjelang wisuda aku masih terpilih mengikuti International Art Festival di Berlin, Jerman dan langsung ditawari menjadi bagian dari kepanitiaan Venice Biennale sebuah pameran seni bergengsi yang diadakan setiap dua tahun sekali di Venesia dan menampilkan karya-karya seniman terkenal dunia yang telah lebih dari 100 tahun. Tidak sembarang orang yang bisa bergabung disitu.

Namun Aku menunda penawaran itu. Aku memilih untuk kembali ke kotaku, mengabaikan perkataan orang-orang yang menyayangkan keputusanku, mengabaikan wajah kecewa orang-orang di sekelilingku. Tapi Aku berjanji akan tetap membuat mereka bangga dengan diriku saat itu. Karena Aku yakin sekali Aku ada untuk membanggakan mereka. Dan kurasa inilah saatnya. Aku kembali kesini, ke tempat pertama kali Aku membangun mimpi dan cita-citaku dan untuk melukis masa depan anak-anak disini dengan membantu di Yayasan TK Pertiwi milik Bu Jijah.

Kondisi kesehatan Beliau sudah tidak memungkinkan untuk memimpin yayasan sekolah ini, sementara kedua anaknya hanya sesekali mampu meluangkan waktu untuk yayasan ini. Maka ketika Aku melamar untuk menjadi Guru di TK ini , Bu Jijah langsung menerimaku. Bahkan Beliau menawarkan posisi Kepala Sekolah menggantikan Beliau yang langsung kutolak dengan sopan. Alasanku karena Aku masih baru, dan masih ingin banyak belajar dari Beliau.
Ketika ditanya alasanku kenapa mengajukan lamaran di sekolah ini, dengan tegas Aku menjawab “Karena Ibu yang sejak Aku berusia 4 tahun dulu telah menanamkan sosok seorang Guru, pendidik, dan orangtua yang tepat bagi anak-anak yang akan memulai masa pendidikan awal pertama mereka. Dan karena Guru TK itu pekerjaan yang mulia, harapanku agar terus diingat oleh murid-murid sebagai guru pertama bagi mereka” ucapku mantap.

Bu Jijah tersenyum mendengar penuturanku. Beliau merangkulku lagi, menunjukkan tempat demi tempat bangunan yang sudah lama kutinggalkan ini, bangunan yang terlihat suram dan usang tergerus zaman, dan dengan bakatku aku bertekad untuk melukis ruangan-ruangan ini nantinya mewujudkan harapanku untuk menjadikan lukisan sebagai media visual dalam pembelajaran. Bersama kami menyusuri kelas demi kelas tempat dimana Aku akan mengajar dan mewujudkan mimpiku. Tempat dimana Aku akan bertanggung jawab terhadap segala keputusanku dan murid-muridku. Tempat dimana aku akan melukis masa depanku bersama anak-anak disini agar nantinya mereka pun bisa menjadikanku guru yang menginspirasi mereka, seperti guruku, Ibu Nur Azizah.


^Tulisan remake dari sebelumnya dalam rangka Lomba Cerpen oleh Inspira Pustaka^

Senin, 19 Juni 2017

"Nama Saya Latong Bu, Bukan Lotong"

Ini cerita tentang salah satu kunang-kunang lanaiku. Saparuddin nama aslinya. Tapi lebih dikenal dengan sebutan Latong. Beberapa guru ada yang memanggilnya Matong. Latong sekarang duduk di kelas 5. Dia salah satu dari 11 murid yang mengajakku ke Pantai Pasir Putih di awal kedatanganku dulu. Aku memang tidak pernah bertanya kenapa dia dipanggil Latong. Tapi dari yang kulihat, Aku sudah mengetahui alasannya.

Latong berkulit hitam gelap. Bahasa Bugis (masyarakat di Desa sebagian besar bersuku Bugis)hitam adalah lotong. La lotong disingkat Latong (La merupakan sebutan panggilan kepada seseorang sebelum nama orang tersebut). Mungkin itu asal mula nama panggilannya menjadi Latong.
Meskipun hitam, Latong terlihat manis dengan kedua lesung pipi di wajahnya. Latong anak yang lucu. Ada-ada saja celetukan ngasalnya yang sering membuat tertawa. Aku ingat ketika di Pasir Putih dulu, dia berupaya keras menarik perhatianku dengan celetukan-celetukan aneh yang malah membuat dirinya sendiri ditertawakan.  Dia bahkan berpura-pura tenggelam ketika itu, lalu muncul kembali ke permukaan dengan senyum malunya karena tidak ada yang memperhatikan “aksi bohongannya” tersebut. Senyum malu dengan dua lesung pipi itu semakin membuat dia terlihat manis saja. Ditambah deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulitnya dan mata yang menyipit ketika sedang tertawa atau senyum.


Sabtu, 27 Juni 2015

Journey to the Port of My Heart

Pelabuhan Bitung, 8 Februari 2012
Aku melangkahkan kaki memasuki gerbang pelabuhan. Bersama keenam orang temanku, kami akan melakukan perjalanan ke ke Pulau paling timur Indonesia ; Papua, tepatnya Merauke. Perjalanan ini merupakan bagian dari ekspedisi keanekaragaman hayati. Kami mahasiswa tingkat akhir yang proposalnya terpilih akan melakukan penelitian skripsi dibiayai oleh salah satu NGO internasional yang memiliki program penelitian Wallaby (Mamalia berkantung/Kanguru Lapang) di Taman Nasional Wasur. Dan aku termasuk salah satu dari ketujuh  mahasiswa beruntung itu. Bersama dengan enam orang lainnya dari universitas yang berbeda, kami memutuskan untuk menempuh perjalanan laut untuk sampai ke tujuan : Merauke.

Welcome,,back..!

Dan setelah sekian lama,,akhirnya mulai ngeblog lagi...!
Bukan membuat blog baru melainkan mengedit blog lama yang belum pernah dikunjungi...

Kamis, 29 November 2012

Sia - Sia


Entah mengapa hari ini semua terlihat sia-sia...
Dari rencana ke kampus pagi dan perpanjangan STNK Kak Winda yang molor hingga siang, bawa laptop ke LSI dengan niat nongkrong seharian (setengah harian) namun ternyata percuma karena si Toshi masih utuh di posisi tanpa saya apa-apakan, mengingat fasilitas internet gratis yang saya pakai di komputer LSI, dan bawa payung antisipasi hujan namun ternyata tidak digunakan...

Dan lebih herannya, seolah tahu perasaan anaknya, tumben-tumbennya Papa menelepon hanya sekitar 1 menitan, sekedar menanyakan sedang apa dan lagi dimana,,tumben karena biasanya tiap percakapan selalu kami habiskan hampir setengah jam, namun kali ini beda.
Saya yang terlihat tidak bersemangat menjawab panggilan dan Papa yang juga tidak bertanya alasan hanya menyegerakan pembicaraan...
Ah, andai saja bisa,, ingin sekali berkata “Ananda sedang tidak baik-baik saja, Pa...”

Melewati koridor-koridor kampus dan masih terlihat aktivitas dan kesibukan para mahasiswa malam hari.

Ah,  jadi rindu masa-masa itu...
Rindu masa-masa mengejar waktu,,
Pengumpulan tugas, laporan, LPJ organisasi, dan semua hal yang mencirikan aktivitas mahasiswaku.
Tapi saat ini, tanpa ada tugas, tanpa ada laporan, tanpa ada kegiatan,
Hanya dituntut fokus untuk menyelesaikan karya yang akan mengakhiri status mahasiswaku.
Namun tak adanya batas waktu dalam karya ini membuatku terlalu banyak memberi celah toleransi terhadap diri sendiri...

Bahkan aku tak dapat menenggatkan waktu untuk diriku sendiri...

Bahkan tak dapat menciptakan fokusku sendiri...

Maaf,, maaf ku untuk waktu,, yang selalu kusadari telah Aku sia-sia kan...

Sabtu, 31 Desember 2011

Resolusi Tahun Baru


31 Desember 2011
Aku menatap miris pada kalender di depanku. Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2011 dan esok adalah hari baru di tahun berikutnya. Sudah setahun aku melewati hari-hari masih dengan kebingungan. Tak ada perubahan dalam diri dan sesuatu yang kuhasilkan tahun ini. Aku masih gamang menentukan tujuan hidupku. Ingin seperti apa dan bagaimana. Tepat tengah malam setahun lalu, sebelum jarum jam berdentang 12 kali, Aku menuliskan harapan-harapan dan resolusi untuk tahun ini. Salah satunya adalah mengajar dan menerbitkan buku.
Aku memang memiliki cita-cita yang (kata orang-orang) tergolong sederhana : Guru TK dan Penulis. Meski sempat ditertawakan (karena menurut mereka, cita-cita itu harusnya setinggi langit, bukan tugas ‘mulia’ seperti itu) tapi aku yakin dengan keinginanku. Sebab bagiku cita-cita adalah impian yang harus aku gapai dan aku wujudkan. Untuk apa mempunyai cita-cita setinggi langit jika kita tak mampu mencapainya dan malah jatuh pada dasar bumi yang serendah-rendahnya. Itu kalimat ungkapan dan pembelaanku setiap ditanyakan alasan mengapa aku memiliki cita-cita sesederhana itu.